Senin, 05 Desember 2011

Artikel

AWAS BAHAYA LKS BAGI SISWA SD!
Oleh: Muh.Muslih

Adalah sebuah kisah nyata, Afi, seorang anak kelas II SD, tiba-tiba menangis keras-keras ketika ayahnya meminta mengerjakan PR. Sambil sesenggukan ia mengatakan bahwa PRnya sangat banyak hari itu. Dengan heran bercampur dongkol ayah itu menanyai anaknya, berapa PR yang harus ia kerjakan hari ini? Katanya ,sehari itu ibu guru memberinya tiga PR untuk mata pelajaran yang berbeda. Tak puas dengan jawaban itu, sang ayah mulai membuka PR anaknya. Ternyata semua PR bersumber pada tiga buku LKS (lembar kerja siswa)terbitan sebuah perusahaan swasta yang diberikan sang guru pada awal semester. ‘Pantas saja, anak itu menangis,’ pikir sang ayah ketika melihat PR setiap mata pelajaran yang terdiri dari minimal empat bagian (A,B,C,dan D) dengan jumlah soal tiap bagian 5 – 10 soal. Jadi kalau dijumlah soal untuk ketiga PR itu ada 60 soal. ‘Wah, ini bukan lagi bertujuan agar anak jadi rajin belajar namun justru menyiksa dan membebani anak,’pikir sang ayah. 

Peran Pekerjaan Rumah bagi Siswa
Sebenarnya, apa yang salah dengan PR? Menurut para ahli pendidikan, PR (pekerjaan rumah) berfungsi untuk melatih dan mereview kemampuan siswa secara mandiri di rumah setelah mendapat proses pembelajaran di sekolah . Selain itu, PR juga memiliki tujuan agar siswa rajin belajar di rumah, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak siswa merasa tak perlu membuka pelajaran bila tak ada PR dari guru. Oleh karena itu, agar berjalan efektif biasanya jumlah soal untuk PR hanya sedikit. Jadi PR sesungguhnya baik apabila dilakukan dan dipersiapkan dengan cermat oleh guru. Dari kasus di atas kemungkinan masalahnya adalah guru tidak merencanakan tugas PR dengan baik. Selain membebani siswa dengan jumlah PR yang terlalu banyak, ia juga asal-asalan memberikan tugas PRnya dengan mengambil sumber dari LKS sehingga memberi kesan bahwa sang guru malas mempersiapkan tugasnya.
Menurut Piaget dalam buku The Language and the Tought of the Child pada dasarnya setiap anak merupakan pembelajar aktif. Ia mendapatkan pengetahuan lewat lingkungannya, baik secara fisik maupun penjelasan orang lain. Piaget membagi perkembangan cara berpikir anak menjadi empat tahap: tahap sensor-motorik (dari lahir – 2 tahun), tahap pra-operasional (usia 2 – 7 tahun), tahap operasional kongkrit (usia 7 – 11 tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas).
Anak usia SD, kira-kira mulai 7 – 12 tahun, dalam Teori Piaget termasuk tahap operasional kongkrit (concrete operational stage) artinya mulai usia 7 tahun anak mampu berpikir logis seperti cara berpikir orang dewasa. Kemampuan penerapan logika dalam beberapa pengetahuan, seperti matematika, sains, atau membaca berkembang dalam waktu yang sama. Tetapi, Piaget mengingatkan bahwa kemampuan tersebut dibatasi oleh pengalaman mereka yang masih minim. Oleh karenanya anak usia SD sangat memerlukan bantuan guru untuk memahami konsep-konsep yang dimiliki anak menjadi utuh. 
LKS bagi Anak SD
Dalam kasus PR di atas, penulis memandang bahwa penggunaan LKS sebagai media pembelajaran pada usia SD sangat berbahaya bagi perkembangan berpikir anak. Mengapa? Pertama, LKS hanya melatih siswa menjawab soal; ia tidak akan efektif tanpa adanya pemahaman konsep materi secara benar. Pemaparan konsep kita dapatkan dari buku teks. Untuk itu sudah sangat tepat bila pemerintah mengatur standar mutu buku teks lewat Pusat Perbukuan Depdiknas. Hal ini berarti buku yang telah lolos dari lembaga tersebut sudah layak digunakan di sekolah. Apalagi dengan adanya program buku elektonik dari pemerintah, saat ini sangatlah mudah untuk mendapatkan buku teks bermutu. Tugas guru adalah membantu siswa memahami konsep dalam buku-buku tersebut secara menyeluruh sebagaimana Teori Piaget di atas. Untuk mengecek pemahaman dan kemampuan siswa guru dapat memberi latihan atau PR berdasarkan apa yang telah dipelajari. Pemakaian LKS buatan pihak lain bisa menimbulkan ketidak sesuaian (mis-match) antara yang diterangkan dan yang dilatihkan. Hal ini sangat mungkin, karena ibarat makanan, bahan makanan yang sama bisa jadi lain hasilnya bila dimasak oleh koki yang berbeda. Maka paling ideal, LKS yang baik adalah buatan guru itu sendiri karena dia lah yang semestinya tahu persis akan kebutuhan siswanya.
Kedua, hal yang paling penulis khawatirkan adalah penggunaan LKS sebagai pengganti buku ajar. Dengan beberapa pertimbangan pragmatis berupa: praktis, tak repot, harga yang murah, bahkan adanya diskon yang cukup menggiurkan ,dll. ada beberapa guru yang lebih mengutamakan penggunaan LKS dalam pembelajaran di kelas ketimbang pemakaian buku teks. Nampaknya belum ada penelitian tentang dominasi LKS menggeser keberadaan buku teks atau buku ajar. Namun sangat masuk akal untuk mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kelas atas penggunaan LKS dan buku ajar karena sudah menjadi semacam ‘ritual’ bahwa setiap pergantian semester ada pembagian (baca: penjualan) buku LKS oleh pihak guru dan sekolah . Memang dari pengamatan penulis terhadap beberapa LKS terbitan swasta pada umumnya sudah mencakup rangkuman materi, contoh-contoh penerapan konsep, dan latihan. Akan tetapi karena LKS memang dirancang sebagai latihan, maka penggunaan LKS sebahai bahan pembelajaran di kelas sama sekali tidak benar.
Pembelajaran pada jenjang sekolah dasar (SD) sangat menentukan keberhasilan di jenjang berikutnya. Pembentukan konsep yang tak mapan pada usia ini akan menjadi sandungan besar pada perkembangan masa berikutnya. Tentu kita tak ingin anak-anak kita mahir menjawab soal pilihan ganda, karena sudah dilatih lewat LKS namun gagal menjelaskan dan mengaplikasikan konsep dalam kondisi kehidupan yang nyata. Kalau itu terjadi anak akan sangat bergantung pada latihan-latihan soal tanpa pernah mampu berpikir untuk berusaha membuat soal sendiri lalu memecahkannya sendiri atau bersama temannya. Padahal belajar yang berhasil ditandai oleh kemampuan pembelajar untuk mau belajar mandiri tanpa arahan dan paksaan orang lain.
Alih-alih menjelaskan konsep, beberapa LKS justru hanya mencantumkan rumus-rumus dalam pelajaran matematika, misalnya. Hal ini karena yang menjadi pertimbangan penerbit adalah nilai ekonomisnya alias keuntungan semata; semakin tebal LKS , semakin mahal dan kurang prospektif pemasarannya. Oleh karenanya buku LKS cenderung tipis dan miskin ilustrasi tetapi pada sampul depannya terpampang tulisan besar-besar, SESUAI DENGAN KTSP. Biasanya LKS buatan penerbit hanya dipakai para guru sebagai bahan latihan di rumah alias PR, dengan catatan mereka yang memakainya biasanya berdalih demi kepraktisan karena tak cukup waktu untuk menyiapkan tugas bikinan sendiri (baca: karena malas) dan kalau bisa, kata para guru itu pada sales buku LKS, tolong sekalian disertakan Promes (program semester) dan RPP (rencana program pengajaran). Ah! Ada-ada saja!
Ketiga, pertimbangan mutu soal dalam buku LKS. Dalam kasus PR di atas, sang ayah mencoba mengamati soal-soal yang ada dalam LKS tersebut. Ternyata dari bagian A hingga D soal-soalnya cenderung monoton, artinya soal-soal yang sudah ditanyakan pada bagian A bisa jadi muncul lagi di B, atau D dengan kalimat yang berbeda. Tentu saja hal ini akan membosankan bagi anak yang telah memahami konsep. Nampaknya sang penulis LKS kekurangan bahan soal, namun dikejar target harus memenuhi sekian soal agar LKS jadi sekian halaman sesuai keinginan penerbit. Oleh karenanya mutu soal kurang menjadi pertimbangan penulis LKS. Berpijak dari pengalaman di atas sudah selayaknya kita mempertanyakan mutu soal yang ada dalam LKS SD. Apakah soal-soal dalam LKS tidak bermutu? Untuk menjawab secara obyektif diperlukan sejumlah penelitian, namun secara kasat mata seorang guru yang kompeten akan mampu menilai kadar mutu soal-soal yang ada dalam LKS sehingga ia bisa memutuskan apakah akan menggunakan sebuah LKS atau tidak. Memang untuk LKS SMP dan SMA , kebanyakan soal – soalnya mirip atau sekedar mencuplik (copy paste) dari soal-soal UN yang tentu sudah melalui penyaringan ketat dari pemerintah. Namun kita patut mempertanyakan keaslian (orisinalitas) ide pembuat LKS tersebut, kalau sekedar copy paste semua orang juga bisa, kan? Terus dimana fungsi pengayaan soal dari sebuah LKS?
Alangkah baiknya buku LKS buatan penerbit juga bermula dari pembuatan kisi-kisi soal yang benar lalu dilakukan testing dan analisa butir soal secara benar. Nah, berdasarkan analisa tersebut akan diketahui apakah rangkaian soal-soal tersebut memiliki ketepatan (validity) dan keajegan (realibility) yang cukup. Lewat analisa tersebut Juga akan diketahui tingkat kesukaran (TK) dan daya pembeda (DP) masing-masing soal sehingga memudahkan pembuat soal untuk menentukan butir soal mana yang bisa dipakai dan mana yang harus disingkirkan. Memang untuk menuju kualitas harus menempuh jalan yang berliku, namun dengan garansi kualitas itulah seharusnya para pembuat buku LKS bersaing menawarkan dagangannya.
LKS SD Bisa Mematikan Potensi Anak
Penulis tidak apriori akan keberadaan buku LKS, terutama bila memang memenuhi kualitas standar. Namun penggunaan yang tidak tepat terhadap LKS akan mematikan kemampuan anak sebagai pembelajar aktif dan menjadikan LKS sebagai beban yang menyiksa anak, maka sekali lagi penulis menegaskan bahwa pada usia SD lebih membutuhkan pemahaman konsep secara utuh, dan untuk mengecek kemampuan siswa, guru tidak perlu menggunakan LKS buatan penerbit. Lebih baik para guru memaksimalkan penggunaan buku ajar untuk pemahaman siswanya. Buatlah LKS sendiri yang lebih membumi dan sesuai dengan kebutuhan anak didiknya. Tentu untuk jumlah soal guru yang paling mampu memperkirakan ketuntasan belajar dari masing-masing bab. Tidak harus banyak yang penting tuntas pemahaman materinya. Semoga dengan pencangan sertifikasi guru akan menambah semangat para guru untuk menunjukkan profesionalisme mereka. Selamat mencoba!

Kajian Kritis

BUDAYA MENULIS BAGI GURU

Tulisan dari Untung Sutikno S.Pd, seorang guru dari Kabupaten Brebes tentang “Budaya Menulis di Kalangan Guru, Cermin Sebuah Keprihatinan” akan lemahnya guru untuk mengasah kompetensi menulis.  Artikel ini menjabarkan tentang beberapa kelemahan guru, terutama yang tidak mengasah kompetensinya untuk menulis. Menurut Untung, kegiatan menulis tidak hanya menulis dalam bentuk artikel yang dikirim ke media massa, akan tetapi menulis dalam ujud yang lebih sederhana dan dekat dengan kehidupan pekerjaan seperti membuat RPP, membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) yang mendukung kegiatan belajar mengajar.
Untung mengungkapkan beberapa sebab yang menjadikan guru tidak membudayakan menulis antara lain; 1) kurangnya budaya membaca yang baik, 2) motivasi yang rendah untuk menulis, 3) miskin gagasan, 4) kurangnya keberanian untuk menulis.
Tulisan Untung tersebut nampaknya ingin menyiratkan ungkapan hatinya yang prihatin akan kondisi ini. Namun, apakah sebenarnya yang tersirat di dalam tulisan tersebut?
Sedikit guru yang memahami kegiatan menulis tersebut sebagai bagian dari kehidupan kerja mereka. Profesionalisme guru dapat diukur dari motivasi yang besar untuk melakukan kegiatan menulis diawali dari pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-hari seorang guru ketika akan mengajar. Penyusunan RPP membutuhkan sebuah kreatifitas dari guru tersebut dalam merangkai kata dan menyusun kegiatan belajar yang sesuai dengan angan-angan dan dituangkan dalam bentuk gagasan tertulis. Penyusunan RPP dapat dikatakan sebagai permulaan kegiatan menulis. Kegiatan ini dapat pula dikatakan sebagai dasar atau permulaan para guru untuk memulai menulis. Mengapa demikian? Karena RPP adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencpai satu kompetensi dasar yang diterapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus.
Tahapan berikutnya dapat lebih meningkat dengan adanya kegiatan menulis ungkapan perasaan akan keberlangsungan kegiatan pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan learning journal (jurnal belajar) sebagai media dalam menuangkan ungkapan perasaan akan kegiatan belajar mengajar yang sudah berlangsung.  Jurnal belajar mengikuti aturan-aturan yang dapat dijadikan pedoman dalam penulisannya, sehingga guru tidak mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan, ide dan pemikiran yang ketika itu muncul. Ide atau pemikiran tersebut dapat berupa sebuah harapan dan solusi pada kesulitan penerapan pembelajaran dikelas yang tertuang dalam bentuk tulisan.
Artikel yang ditulis oleh Untung juga memberikan gambaran sekilas tentang implementasi dari PermenPan Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Professional Guru dan Angka Kreditnya. Bab VII tentang Rincian Kegiatan  dan Unsur yang dinilai menguraikan secara rinci akan kegiatan dalam penulisan karya ilmiah dan unsur-unsur yang dinilai. Nampaknya PermenPan ini merupakan senjata ampuh untuk mendongkrak motivasi menulis para guru menuju kegiatan menulis dan kompetensi menulis tingkat tinggi dengan cara membuat karya ilmiah. Oleh sebab itu, PermenPan ini betul-betul digodok dan akan diimplementasikan pada tahun 2013 dan sudah mulai disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dari tingkat kabupaten sampai dengan tingkat nasional, dengan tujuan agar ada kesiapan dalam penggarapannya kelak. Pada akhirnya, dengan dikeluarkannya PermenPan ini, akan mengurangi kelemahan guru untuk membaca.
Penyebab rendahnya kompetensi menulis para guru yang diungkapkan oleh Untung, menjadi faktor-faktor yang menimbulkan keprihatinan dia. Bagaimana tidak? Guru yang seharusnya mengawali kegiatan belajar mengajar di kelas dengan membaca, kenyataannya sangat sedikit guru yang membaca materi yang akan diajarkan terutama ilmu-ilmu social. Guru yang seharusnya menuangkan hasil kegiatan membacanya ke dalam RPP, tidak menuangkannya secara benar.
Kajian tentang “Budaya Menulis di Kalangan Guru, Cermin Sebuah Keprihatinan” ini telah mengungkapkan kondisi nyata dari rendahnya kompetensi guru untuk menulis. Artikel ini pula yang nampaknya dapat dijadikan sebagai sebuah refleksi para guru untuk segera bangkit dari keterpurukan. Keterpurukan ini berupa mandulnya hasil karya berupa tulisan dari guru yang menjadi ungkapan gagasan/ide dan perasaan seorang guru.
Pada akhir pembahasan ini, harapan adanya peningkatan kompetensi guru di bidang menulis berbagai bentuk karya ilmiah atau pada tingkat dasar dengan menyusun RPP sendiri, dapat mengubah paradigma dan dapat semakin menunjukkan kepada masyarakat bahwa guru dengan segala perangkat intelegensia yang telah dimilikinya dapat semakin melengkapi atribut profesionalisme kinerja guru di dunia pendidikan.

Sains

Asal-usul Tata Surya




Tata surya (bahasa Inggris: solar system) terdiri dari sebuah bintang yang disebut matahari dan semua objek yang yang mengelilinginya. Objek-objek tersebut termasuk delapan buah planet yang sudah diketahui dengan orbit berbentuk elips, meteor, asteroid, komet, planet-planet kerdil/katai, dan satelit-satelit alami.
Tata surya dipercaya terbentuk semenjak 4,6 milyar tahun yang lalu dan merupakan hasil penggumpalan gas dan debu di angkasa yang membentuk matahari dan kemudian planet-planet yang mengelilinginya.
Tata surya terletak di tepi galaksi Bima Sakti dengan jarak sekitar 2,6 x 1017 km dari pusat galaksi, atau sekitar 25.000 hingga 28.000 tahun cahaya dari pusat galaksi. Tata surya mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti dengan kecepatan 220 km/detik, dan dibutuhkan waktu 225–250 juta tahun untuk untuk sekali mengelilingi pusat galaksi. Dengan umur tata surya yang sekitar 4,6 milyar tahun, berarti tata surya kita telah mengelilingi pusat galaksi sebanyak 20–25 kali dari semenjak terbentuk.
Tata surya dikekalkan oleh pengaruh gaya gravitasi matahari dan sistem yang setara tata surya, yang mempunyai garis pusat setahun kecepatan cahaya, ditandai adanya taburan komet yang disebut awan Oort. Selain itu juga terdapat awan Oort berbentuk piring di bagian dalam tata surya yang dikenali sebagai awan Oort dalam.
Disebabkan oleh orbit planet yang membujur, jarak dan kedudukan planet berbanding kedudukan matahari berubah mengikut kedudukan planet di orbit.
Banyak hipotesis tentang asal usul tata surya telah dikemukakan para ahli, diantaranya :

Hipotesis Nebula

Hipotesis nebula pertama kali dikemukakan oleh Immanuel Kant(1724-1804) pada tahun 1775. Kemudian hipotesis ini disempurnakan oleh Pierre Marquis de Laplace pada tahun 1796. Oleh karena itu, hipotesis ini lebih dikenal dengan Hipotesis nebula Kant-Laplace. Pada tahap awal tata surya masih berupa kabut raksasa. Kabut ini terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut nebula. Unsur gas sebagian besar berupa hidrogen. Karena gaya gravitasi yang dimilikinya, kabut itu menyusut dan berputar dengan arah tertentu. Akibatnya, suhu kabut memanas dan akhirnya menjadi bintang raksasa yang disebut matahari. Matahari raksasa terus menyusut dan perputarannya semakin cepat. Selanjutnya cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari. Akibat gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan suhunya dan membentuk planet dalam. Dengan cara yang sama, planet luar juga terbentuk.

Hipotesis Planetisimal

Hipotesis planetisimal pertama kali dikemukakan oleh Thomas C. Chamberlain dan Forest R. Moulton pada tahun 1900. Hipotesis planetisimal mengatakan bahwa tata surya kita terbentuk akibat adanya bintang lain yang hampir menabrak matahari.

Hipotesis Pasang Surut Bintang

Hipotesis pasang surut bintang pertama kali dikemukakan oleh James Jean dan Herold Jaffries pada tahun 1917. Hipotesis pasang surut bintang sangat mirip dengan hipotesis planetisimal. Namun perbedaannya terletak pada jumlah awalnya matahari.

Hipotesis Kondensasi

Hipotesis kondensasi mulanya dikemukakan oleh astronom Belanda yang bernama G.P. Kuiper (1905-1973) pada tahun 1950. Hipotesis kondensasi menjelaskan bahwa tata surya terbentuk dari bola kabut raksasa yang berputar membentuk cakram raksasa.

Hipotesis Bintang Kembar

Hipotesis bintang kembar awalnya dikemukakan oleh Fred Hoyle (1915-2001) pada tahun 1956. Hipotesis mengemukakan bahwa dahulunya tata surya kita berupa dua bintang yang hampir sama ukurannya dan berdekatan yang salah satunya meledak meninggalkan serpihan-serpihan kecil.

Sejarah penemuan

Lima planet terdekat ke Matahari selain Bumi (Merkurius, Venus, Mars, Yupiter dan Saturnus) telah dikenal sejak zaman dahulu karena mereka semua bisa dilihat dengan mata telanjang. Banyak bangsa di dunia ini memiliki nama sendiri untuk masing-masing planet.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengamatan pada lima abad lalu membawa manusia untuk memahami benda-benda langit terbebas dari selubung mitologi. Galileo Galilei (1564-1642) dengan teleskop refraktornya mampu menjadikan mata manusia "lebih tajam" dalam mengamati benda langit yang tidak bisa diamati melalui mata telanjang.
Karena teleskop Galileo bisa mengamati lebih tajam, ia bisa melihat berbagai perubahan bentuk penampakan Venus, seperti Venus Sabit atau Venus Purnama sebagai akibat perubahan posisi Venus terhadap Matahari. Penalaran Venus mengitari Matahari makin memperkuat teori heliosentris, yaitu bahwa matahari adalah pusat alam semesta, bukan Bumi, yang digagas oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) sebelumnya. Susunan heliosentris adalah Matahari dikelilingi oleh Merkurius hingga Saturnus.
Teleskop Galileo terus disempurnakan oleh ilmuwan lain seperti Christian Huygens (1629-1695) yang menemukan Titan, satelit Saturnus, yang berada hampir 2 kali jarak orbit Bumi-Yupiter.
Perkembangan teleskop juga diimbangi pula dengan perkembangan perhitungan gerak benda-benda langit dan hubungan satu dengan yang lain melalui Johannes Kepler (1571-1630) dengan Hukum Kepler. Dan puncaknya, Sir Isaac Newton (1642-1727) dengan hukum gravitasi. Dengan dua teori perhitungan inilah yang memungkinkan pencarian dan perhitungan benda-benda langit selanjutnya
Pada 1781, William Hechell (1738-1782) menemukan Uranus. Perhitungan cermat orbit Uranus menyimpulkan bahwa planet ini ada yang mengganggu. Neptunus ditemukan pada Agustus 1846. Penemuan Neptunus ternyata tidak cukup menjelaskan gangguan orbit Uranus. Pluto kemudian ditemukan pada 1930.
Pada saat Pluto ditemukan, ia hanya diketahui sebagai satu-satunya objek angkasa yang berada setelah Neptunus. Kemudian pada 1978, Charon, satelit yang mengelilingi Pluto ditemukan, sebelumnya sempat dikira sebagai planet yang sebenarnya karena ukurannya tidak berbeda jauh dengan Pluto.
Para astronom kemudian menemukan sekitar 1.000 objek kecil lain di belakang Neptunus (disebut objek trans-Neptunus) yang juga mengelilingi Matahari. Di sana mungkin ada sekitar 100.000 objek serupa yang dikenal sebagai objek Sabuk Kuiper (Sabuk Kuiper adalah bagian dari objek-objek trans-Neptunus). Belasan benda langit termasuk dalam Obyek Sabuk Kuiper di antaranya Quaoar (1.250 km pada Juni 2002), Huya (750 km pada Maret 2000), Sedna (1.800 km pada Maret 2004), Orcus, Vesta, Pallas, Hygiea, Varuna, dan 2003 EL61 (1.500 km pada Mei 2004).
Penemuan 2003 EL61 cukup menghebohkan karena Obyek Sabuk Kuiper ini diketahui juga memiliki satelit pada Januari 2005 meskipun berukuran lebih kecil dari Pluto. Dan puncaknya adalah penemuan UB 313 (2.700 km pada Oktober 2003) yang diberi nama oleh penemunya Xena. Selain lebih besar dari Pluto, obyek ini juga memiliki satelit.

Daftar jarak planet

Daftar planet dan jarak rata-rata planet dengan matahari dalam tata surya adalah seperti berikut:
57,9 juta kilometer ke Merkurius
108,2 juta kilometer ke Venus
149,6 juta kilometer ke Bumi
227,9 juta kilometer ke Mars
778,3 juta kilometer ke Jupiter
1.427,0 juta kilometer ke Saturnus
2.871,0 juta kilometer ke Uranus
4.497,0 juta kilometer ke Neptunus
Terdapat juga lingkaran asteroid yang kebanyakan mengelilingi matahari di antara orbit Mars dan Jupiter.
Karena rotasinya terhadap sumbu masing-masing, garis khatulistiwa menjadi lingkar terpanjang yang terdapat di setiap planet dan bintang.