Senin, 05 Desember 2011

Artikel

AWAS BAHAYA LKS BAGI SISWA SD!
Oleh: Muh.Muslih

Adalah sebuah kisah nyata, Afi, seorang anak kelas II SD, tiba-tiba menangis keras-keras ketika ayahnya meminta mengerjakan PR. Sambil sesenggukan ia mengatakan bahwa PRnya sangat banyak hari itu. Dengan heran bercampur dongkol ayah itu menanyai anaknya, berapa PR yang harus ia kerjakan hari ini? Katanya ,sehari itu ibu guru memberinya tiga PR untuk mata pelajaran yang berbeda. Tak puas dengan jawaban itu, sang ayah mulai membuka PR anaknya. Ternyata semua PR bersumber pada tiga buku LKS (lembar kerja siswa)terbitan sebuah perusahaan swasta yang diberikan sang guru pada awal semester. ‘Pantas saja, anak itu menangis,’ pikir sang ayah ketika melihat PR setiap mata pelajaran yang terdiri dari minimal empat bagian (A,B,C,dan D) dengan jumlah soal tiap bagian 5 – 10 soal. Jadi kalau dijumlah soal untuk ketiga PR itu ada 60 soal. ‘Wah, ini bukan lagi bertujuan agar anak jadi rajin belajar namun justru menyiksa dan membebani anak,’pikir sang ayah. 

Peran Pekerjaan Rumah bagi Siswa
Sebenarnya, apa yang salah dengan PR? Menurut para ahli pendidikan, PR (pekerjaan rumah) berfungsi untuk melatih dan mereview kemampuan siswa secara mandiri di rumah setelah mendapat proses pembelajaran di sekolah . Selain itu, PR juga memiliki tujuan agar siswa rajin belajar di rumah, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak siswa merasa tak perlu membuka pelajaran bila tak ada PR dari guru. Oleh karena itu, agar berjalan efektif biasanya jumlah soal untuk PR hanya sedikit. Jadi PR sesungguhnya baik apabila dilakukan dan dipersiapkan dengan cermat oleh guru. Dari kasus di atas kemungkinan masalahnya adalah guru tidak merencanakan tugas PR dengan baik. Selain membebani siswa dengan jumlah PR yang terlalu banyak, ia juga asal-asalan memberikan tugas PRnya dengan mengambil sumber dari LKS sehingga memberi kesan bahwa sang guru malas mempersiapkan tugasnya.
Menurut Piaget dalam buku The Language and the Tought of the Child pada dasarnya setiap anak merupakan pembelajar aktif. Ia mendapatkan pengetahuan lewat lingkungannya, baik secara fisik maupun penjelasan orang lain. Piaget membagi perkembangan cara berpikir anak menjadi empat tahap: tahap sensor-motorik (dari lahir – 2 tahun), tahap pra-operasional (usia 2 – 7 tahun), tahap operasional kongkrit (usia 7 – 11 tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas).
Anak usia SD, kira-kira mulai 7 – 12 tahun, dalam Teori Piaget termasuk tahap operasional kongkrit (concrete operational stage) artinya mulai usia 7 tahun anak mampu berpikir logis seperti cara berpikir orang dewasa. Kemampuan penerapan logika dalam beberapa pengetahuan, seperti matematika, sains, atau membaca berkembang dalam waktu yang sama. Tetapi, Piaget mengingatkan bahwa kemampuan tersebut dibatasi oleh pengalaman mereka yang masih minim. Oleh karenanya anak usia SD sangat memerlukan bantuan guru untuk memahami konsep-konsep yang dimiliki anak menjadi utuh. 
LKS bagi Anak SD
Dalam kasus PR di atas, penulis memandang bahwa penggunaan LKS sebagai media pembelajaran pada usia SD sangat berbahaya bagi perkembangan berpikir anak. Mengapa? Pertama, LKS hanya melatih siswa menjawab soal; ia tidak akan efektif tanpa adanya pemahaman konsep materi secara benar. Pemaparan konsep kita dapatkan dari buku teks. Untuk itu sudah sangat tepat bila pemerintah mengatur standar mutu buku teks lewat Pusat Perbukuan Depdiknas. Hal ini berarti buku yang telah lolos dari lembaga tersebut sudah layak digunakan di sekolah. Apalagi dengan adanya program buku elektonik dari pemerintah, saat ini sangatlah mudah untuk mendapatkan buku teks bermutu. Tugas guru adalah membantu siswa memahami konsep dalam buku-buku tersebut secara menyeluruh sebagaimana Teori Piaget di atas. Untuk mengecek pemahaman dan kemampuan siswa guru dapat memberi latihan atau PR berdasarkan apa yang telah dipelajari. Pemakaian LKS buatan pihak lain bisa menimbulkan ketidak sesuaian (mis-match) antara yang diterangkan dan yang dilatihkan. Hal ini sangat mungkin, karena ibarat makanan, bahan makanan yang sama bisa jadi lain hasilnya bila dimasak oleh koki yang berbeda. Maka paling ideal, LKS yang baik adalah buatan guru itu sendiri karena dia lah yang semestinya tahu persis akan kebutuhan siswanya.
Kedua, hal yang paling penulis khawatirkan adalah penggunaan LKS sebagai pengganti buku ajar. Dengan beberapa pertimbangan pragmatis berupa: praktis, tak repot, harga yang murah, bahkan adanya diskon yang cukup menggiurkan ,dll. ada beberapa guru yang lebih mengutamakan penggunaan LKS dalam pembelajaran di kelas ketimbang pemakaian buku teks. Nampaknya belum ada penelitian tentang dominasi LKS menggeser keberadaan buku teks atau buku ajar. Namun sangat masuk akal untuk mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kelas atas penggunaan LKS dan buku ajar karena sudah menjadi semacam ‘ritual’ bahwa setiap pergantian semester ada pembagian (baca: penjualan) buku LKS oleh pihak guru dan sekolah . Memang dari pengamatan penulis terhadap beberapa LKS terbitan swasta pada umumnya sudah mencakup rangkuman materi, contoh-contoh penerapan konsep, dan latihan. Akan tetapi karena LKS memang dirancang sebagai latihan, maka penggunaan LKS sebahai bahan pembelajaran di kelas sama sekali tidak benar.
Pembelajaran pada jenjang sekolah dasar (SD) sangat menentukan keberhasilan di jenjang berikutnya. Pembentukan konsep yang tak mapan pada usia ini akan menjadi sandungan besar pada perkembangan masa berikutnya. Tentu kita tak ingin anak-anak kita mahir menjawab soal pilihan ganda, karena sudah dilatih lewat LKS namun gagal menjelaskan dan mengaplikasikan konsep dalam kondisi kehidupan yang nyata. Kalau itu terjadi anak akan sangat bergantung pada latihan-latihan soal tanpa pernah mampu berpikir untuk berusaha membuat soal sendiri lalu memecahkannya sendiri atau bersama temannya. Padahal belajar yang berhasil ditandai oleh kemampuan pembelajar untuk mau belajar mandiri tanpa arahan dan paksaan orang lain.
Alih-alih menjelaskan konsep, beberapa LKS justru hanya mencantumkan rumus-rumus dalam pelajaran matematika, misalnya. Hal ini karena yang menjadi pertimbangan penerbit adalah nilai ekonomisnya alias keuntungan semata; semakin tebal LKS , semakin mahal dan kurang prospektif pemasarannya. Oleh karenanya buku LKS cenderung tipis dan miskin ilustrasi tetapi pada sampul depannya terpampang tulisan besar-besar, SESUAI DENGAN KTSP. Biasanya LKS buatan penerbit hanya dipakai para guru sebagai bahan latihan di rumah alias PR, dengan catatan mereka yang memakainya biasanya berdalih demi kepraktisan karena tak cukup waktu untuk menyiapkan tugas bikinan sendiri (baca: karena malas) dan kalau bisa, kata para guru itu pada sales buku LKS, tolong sekalian disertakan Promes (program semester) dan RPP (rencana program pengajaran). Ah! Ada-ada saja!
Ketiga, pertimbangan mutu soal dalam buku LKS. Dalam kasus PR di atas, sang ayah mencoba mengamati soal-soal yang ada dalam LKS tersebut. Ternyata dari bagian A hingga D soal-soalnya cenderung monoton, artinya soal-soal yang sudah ditanyakan pada bagian A bisa jadi muncul lagi di B, atau D dengan kalimat yang berbeda. Tentu saja hal ini akan membosankan bagi anak yang telah memahami konsep. Nampaknya sang penulis LKS kekurangan bahan soal, namun dikejar target harus memenuhi sekian soal agar LKS jadi sekian halaman sesuai keinginan penerbit. Oleh karenanya mutu soal kurang menjadi pertimbangan penulis LKS. Berpijak dari pengalaman di atas sudah selayaknya kita mempertanyakan mutu soal yang ada dalam LKS SD. Apakah soal-soal dalam LKS tidak bermutu? Untuk menjawab secara obyektif diperlukan sejumlah penelitian, namun secara kasat mata seorang guru yang kompeten akan mampu menilai kadar mutu soal-soal yang ada dalam LKS sehingga ia bisa memutuskan apakah akan menggunakan sebuah LKS atau tidak. Memang untuk LKS SMP dan SMA , kebanyakan soal – soalnya mirip atau sekedar mencuplik (copy paste) dari soal-soal UN yang tentu sudah melalui penyaringan ketat dari pemerintah. Namun kita patut mempertanyakan keaslian (orisinalitas) ide pembuat LKS tersebut, kalau sekedar copy paste semua orang juga bisa, kan? Terus dimana fungsi pengayaan soal dari sebuah LKS?
Alangkah baiknya buku LKS buatan penerbit juga bermula dari pembuatan kisi-kisi soal yang benar lalu dilakukan testing dan analisa butir soal secara benar. Nah, berdasarkan analisa tersebut akan diketahui apakah rangkaian soal-soal tersebut memiliki ketepatan (validity) dan keajegan (realibility) yang cukup. Lewat analisa tersebut Juga akan diketahui tingkat kesukaran (TK) dan daya pembeda (DP) masing-masing soal sehingga memudahkan pembuat soal untuk menentukan butir soal mana yang bisa dipakai dan mana yang harus disingkirkan. Memang untuk menuju kualitas harus menempuh jalan yang berliku, namun dengan garansi kualitas itulah seharusnya para pembuat buku LKS bersaing menawarkan dagangannya.
LKS SD Bisa Mematikan Potensi Anak
Penulis tidak apriori akan keberadaan buku LKS, terutama bila memang memenuhi kualitas standar. Namun penggunaan yang tidak tepat terhadap LKS akan mematikan kemampuan anak sebagai pembelajar aktif dan menjadikan LKS sebagai beban yang menyiksa anak, maka sekali lagi penulis menegaskan bahwa pada usia SD lebih membutuhkan pemahaman konsep secara utuh, dan untuk mengecek kemampuan siswa, guru tidak perlu menggunakan LKS buatan penerbit. Lebih baik para guru memaksimalkan penggunaan buku ajar untuk pemahaman siswanya. Buatlah LKS sendiri yang lebih membumi dan sesuai dengan kebutuhan anak didiknya. Tentu untuk jumlah soal guru yang paling mampu memperkirakan ketuntasan belajar dari masing-masing bab. Tidak harus banyak yang penting tuntas pemahaman materinya. Semoga dengan pencangan sertifikasi guru akan menambah semangat para guru untuk menunjukkan profesionalisme mereka. Selamat mencoba!

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda